Berita pujasintara

Kosarasa yang Hilang di Negeri Rempah

Image

Nusantara merupakan rumah keanekaragaman hayati di dunia. Sebagian dari kekayaan hayati itu berupa rempah yang pada masa jayanya pernah dihargai lebih dari emas. Rempah pula yang menjadikan nusantara sebagai silang budaya dan mempertemukan berbagai ide, nilai, gaya hidup, serta kebudayaan yang ikut membentuk peradaban global. Demikian diungkapkan Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Agus Sutoyo dalam sambutannya sekaligus membuka Lokakarya Koleksi Langka bertajuk “Rekam Jejak Jalur Rempah di Indonesia” di Teater Mini Layanan Audio Visual Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (15/9/2022).

Hal tersebut juga diamini oleh Sejarawan dan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Susanto Zuhdi. “Munculnya bandar-bandar jalur rempah yang menghubungkan timur-barat membentuk kota-kota kosmopolitan. Jadi yang makmur dulu itu di bandar-bandar,” kata Susanto. 

Susanto mengakui bahwa konsep jalur rempah berada di bawah bayang-bayang jalur sutra yang lebih dulu diakui oleh UNESCO. Pada dekade 90-an, peneliti Indonesia bertemu dan mendiskusikan kota-kota pelabuhan yang menjadi bagian dari jalur sutra sebagai bagian dari program UNESCO. Menurut Susanto, pada saat itulah lahir kesadaran bahwa rempah yang menjadi komoditas perdagangan utama di pelabuhan-pelabuhan tersebut. 

Selain itu, Susanto juga mengatakan bahwa narasi jalur rempah biasanya memperlihatkan keunggulan eropa dan mengabaikan perspektif nusantara. Narasi jalur rempah juga cenderung dekat konotasinya dengan memori tentang penderitaan, kapitalisme, dan penjajahan. Padahal, jauh sebelum kedatangan eropa ke nusantara, rempah sudah dikenal manusia di penjuru dunia. Herodotus, sejarawan yang hidup pada abad ke-5 SM, mengira kayu manis sebagai sarang burung dan datang dari wilayah Malabar. “Lebih dari 2.000 tahun, pelaut-pelaut Asia Tenggara aktif berperan dalam pelayaran sepanjang jaringan perdagangan melintasi Asia,” ungkap Susanto. 

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Yayasan Negeri Rempah Dewi Kumoratih Kushardjanto menyampaikan bahwa narasi jalur rempah merupakan sumber literasi yang luar biasa. Berdasarkan data yang dikutip dari Plant Resources of South East Asia, Dewi mengungkapkan bahwa terdapat 400-500 spesies tanaman yang digunakan sebagai rempah di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 275 spesies di antaranya berasal dari Asia Tenggara. Menurut Dewi, jumlah tersebut belum termasuk tanaman di hutan-hutan pedalaman Indonesia yang belum dikaji secara luas dan hanya diketahui oleh masyarakat lokal. 

Dewi melihat rempah sangat penting artinya bagi keberlangsungan hidup manusia. Selama pandemi Covid-19, misalnya, manusia mencari cara untuk bertahan hidup. Salah satunya dengan memanfaatkan kearifan lokal seperti rempah untuk meningkatkan imunitas tubuh. 

“Rempah itu sebetulnya keseharian kita, tapi mungkin karena sudah sehari-hari sehingga kadang-kadang kita abai,” kata Dewi. Ia mencontohkan dengan kebiasaan orang minum jamu yang kalah populer dengan kopi hitam meskipun kedua minuman tersebut sama pahitnya. Perbedaan antar generasi dalam memproduksi pengetahuan dan memperoleh informasi mengakibatkan pengetahuan yang terputus mengenai rempah. “Ada kosarasa yang hilang dalam perbendaharaan anak-anak kita,” sesal Dewi.

Oleh karena itu, menurut Dewi, penting untuk membangun narasi sejarah rempah untuk generasi muda. Narasi tersebut dapat dikontekstualisasikan dengan keseharian manusia. Lebih lanjut, Dewi menyarankan agar literasi rempah tidak hanya sekedar dibaca, tetapi juga dialami dan dirasakan sendiri. 

“Tantangan kita adalah bagaimana membangun tradisi belajar, karena dengan belajar sejarah kita bisa menata masa depan dan memaknai jalur rempah supaya tetap relevan menjawab tantangan hari ini,” tegas Dewi. 

Kegiatan diskusi ini dapat disaksikan kembali melalui YouTube WBS Radio Perpusnas


Penulis: Khusnul Khatimah