Berita pujasintara

Soe Hok Gie di Puncak Semeru

Image

Semeru mengingatkan kita pada Soe Hok Gie. Di titik tertinggi pulau Jawa ini, Soe Hok Gie dan rekan pendakinya, Dhanvantari “Idhan” Lubis tutup usia setelah diduga menghirup gas beracun pada 16 Desember 1969. Hanya beberapa jam sebelum Soe Hok Gie merayakan ulang tahunnya ke-27.

Selain dikenal sebagai penulis, sejarawan, dan aktivis idealis yang pernah memimpin kawan-kawannya dalam demonstrasi mahasiswa tahun 1966, Soe Hok Gie sangat menyukai alam terbuka, khususnya pegunungan. Bersama teman-temannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Soe Hok Gie mendirikan organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) pertama di Indonesia. Soe Hok Gie pernah menulis artikel yang berjudul “Menaklukkan Gunung Slamet” yang dimuat secara berturut-turut dalam empat bagian pada tanggal 14-18 September 1967 di harian Kompas. Pada artikel tersebut, kita akan menemukan kutipan alasan kecintaan Soe Hok Gie terhadap gunung serta kaitannya dengan patriotisme yang terkenal itu. 

Dalam catatan hariannya yang akhirnya dibukukan, Soe Hok Gie menulis soal rencananya bersama Herman Lantang untuk mendaki Semeru. Pada entri tanggal 8 November 1969, Soe Hok Gie bercerita bahwa dia dan Herman pergi mencari catatan perjalanan dan peta-peta yang dibuat Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis Eropa yang dikenal sebagai orang kedua yang berhasil menaklukkan puncak Semeru. Tidak diceritakan apakah Soe Hok Gie dan Herman kemudian berhasil menemukan catatan dan peta yang dimaksud. Namun, rute perjalanan Junghuhn sama dengan yang dipakai Soe Hok Gie dan tujuh kawan lainnya dalam pendakian Semeru bulan Desember 1969 itu. Rute tersebut dipilih karena jarang dilalui oleh pendaki lain dan penduduk sekitar. 

Dalam rombongan pendakian, ada Aristides Katoppo, sahabat Soe Hok Gie yang masa itu juga bekerja sebagai wakil pemimpin redaktur surat kabar Sinar Harapan. Setelah mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Soe Hok Gie dan Idhan Lubis, Tides dan satu rekannya memutuskan turun gunung dan mencari bantuan untuk melakukan evakuasi. 

Karena cuaca buruk di Semeru, evakuasi jenazah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis baru dapat dilakukan pada Minggu, 21 Desember 1969. Rumitnya proses evakuasi ini dituturkan dalam pemberitaan di halaman muka beberapa surat kabar. Sinar Harapan misalnya, menurunkan liputan berjudul “Soe Hok Goe & Idham Lubis Tewas: Belum Ditentukan Bila Djenazah Tiba” pada 22 Desember 1969. 

Di tanggal yang sama, Kompas menerbitkan obituari berjudul “Mahasiswa Idealis Meninggal Digunung Semeru”. Dalam obituari tersebut, Soe Hok Gie digambarkan sebagai berikut:


"Seorang pemuda jang luar biasa telah meninggalkan kita. Luarbiasa dalam banjak hal. Tjerdas, brilliant. Djujur dan terbuka. Seorang idealist jang murni. Dengan perasaan keadilan jang tadjam. Suatu manusia jang berdjiwa bebas. Dan semua ini dihias dengan keberanian jang luarbiasa pula."


Indonesia Raya menghentikan sementara liputan mengenai penyelewengan terhadap Pertamina selama tiga edisi berturut-turut sejak 23 Desember 1969 dan menggantinya dengan berita tragedi dan tulisan-tulisan mengenai Soe Hok Gie. Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya, adalah paman dari Idhan Lubis. 

Lima puluh dua tahun sudah berlalu sejak tragedi tersebut, tetapi berbagai berita ini serta artikel-artikel yang pernah ditulis Soe Hok Gie dapat kita temukan dalam koleksi surat kabar langka Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Juga tugas akhirnya di Jurusan Sejarah FS UI yang diterbitkan dengan judul “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan” dan buku kenangan “Soe Hok-gie …Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya” bisa diakses secara gratis melalui aplikasi iPusnas.


Penulis: Khusnul Khatimah