Berita pujasintara

Kenali Jakarta dari Notaris Batavia

Image

Permasalahan yang terjadi di Jakarta saat ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan yang pernah terjadi di masa lampau. Hal ini disampaikan oleh sejarawan dan Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Dr. Bondan Kanumoyoso, S.S., M.Hum., dalam Seri Diskusi Jasmerah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah) bertajuk Notaris Batavia Abad 17-18. Diskusi ini diselenggarakan oleh Kelompok Substansi Layanan Monograf dan Berkala Langka (Klasika) Perpustakaan Nasional, Rabu (31/8/2022).

Berbagai permasalahan tersebut, menurut Bondan, bisa diketahui antara lain dari catatan yang dibuat notaris di Batavia pada abad ke 17 dan 18. Pada masa itu, Batavia merupakan pusat jaringan perdagangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), tidak hanya di nusantara, melainkan juga di Asia. Lembaga kenotarisan merupakan bagian dari institusi hukum yang dibawa VOC ke Batavia. Para notaris ini membuat testamen, kontrak dagang, akte nikah, surat hutang, dan dokumen yang berkenaan dengan masalah hukum lainnya. 

Jumlah notaris yang beroperasi di Batavia ditentukan oleh Hoge Regering (Pemerintahan Tertinggi). Berdasarkan penelitian yang Bondan lakukan, sampai dengan tahun 1650, hanya ada dua notaris yang diizinkan membuka kantor di Batavia. Kemudian bertambah menjadi lima notaris pada tahun 1718. Para notaris ini mempunyai kewajiban memberikan memberikan jasanya pada penduduk Batavia dan Ommelanden (daerah satelit di sekitar Batavia), termasuk kepada orang miskin dan para budak. Pada tahun 1733, ada satu notaris yang khusus memberikan pelayanan kepada penduduk Ommelanden. Jumlah notaris ini berkurang menjadi 3 orang pada tahun 1792. Catatan para notaris ini tidak hanya merekam bagaimana gambaran tentang kehidupan masyarakat Batavia dan Ommelanden pada abad 17 dan 18, tapi juga memberikan informasi mengenai kebijakan serta cara kerja birokrasi dan pemerintah VOC di Batavia. Selain itu, arsip tersebut dapat menjadi rujukan untuk nama orang dan tempat yang muncul dalam sumber lain. 

Selain arsip notaris, sumber yang digunakan Bondan untuk meneliti berbagai aspek kegiatan notaris Batavia adalah buku-buku terbitan abad 18 dan 19. Buku tersebut bisa dibagi dalam tiga kategori yaitu, buku yang berisikan catatan perjalanan orang yang berkunjung ke Batavia, buku yang berisi peraturan tentang pengaturan masyarakat kota, serta buku yang membahas kehidupan masyarakat kota Batavia dengan bertumpu pada sumber arsip.

Bondan menyebutkan beberapa buku yang mengantarkannya meneliti tentang notaris. Salah satunya adalah Oud Batavia yang terdiri dari tiga jilid. Dua jilid pertama merupakan narasi dan satu planten album berisi kumpulan foto kota Batavia abad 19 dan 20. Buku lainnya adalah Oud en Nieuw Oost-Indien karya Francois Valentijn. Buku ini menggambarkan wilayah Belanda di seluruh Asia, termasuk Batavia, juga berisi foto-foto berbagai tempat di Indonesia pada abad 18. Tak ketinggalan, Nederlandsch-Indisch Plakaatboek 1602-1811 karya J.A. van der Chijs yang merupakan himpunan peraturan hukum. Melalui buku ini, pembaca dapat melihat bagaimana sistem hukum pertama kalinya diletakkan dalam konteks masyarakat modern oleh pemerintah kolonial Batavia. 

Menurut Koordinator Kelompok Substansi Layanan Monograf dan Berkala Langka Perpustakaan Nasional RI, Yeri Nurita, S.S., sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki riwayat yang panjang. Sejarah ini masih perlu digali oleh peneliti dan masyarakat kita, sehingga lahir perspektif yang mandiri, tidak lagi tergantung pada kajian yang dilakukan oleh bangsa lain.

“Siapa yang menguasai masa lalu, dia akan menguasai masa depan,” pungkas moderator Dr. Alfian Siagian S.S., M.Hum. mengutip pernyataan sastrawan George Orwell sekaligus mengakhiri diskusi. Kegiatan diskusi ini dapat disaksikan kembali melalui YouTube WBS Radio Perpusnas.


Penulis: Khusnul Khatimah